JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM- Menurut hasil penelitian terbaru dari para peneliti
di Universitas Harvard dan Greenpeace Internasional, sekitar 50.000 nyawa bisa diselamatkan setiap tahun hingga 2030 jika
tidak ada PLTU batubara baru dibangun di Asia Tenggara, Korea Selatan,
Jepang dan Taiwan,
Emisi polutan udara dari PLTU batu bara di
wilayah tersebut saat ini menyebabkan sekitar 20.000 lebih kematian
dini per tahun, meningkat menjadi 70.000 pada tahun 2030 jika PLTU batu
bara yang saat ini direncanakan, atau dalam pembangunan tetap berlanjut.
Mayoritas kematian ini (55.000 pada tahun 2030) akan terjadi di Asia
Tenggara.
"Sementara polusi udara di Cina dan India
telah menarik banyak perhatian, termasuk dari kalangan akademik, dampak
dari ekspansi penggunaan batubara pada PLTU-PLTU yang direncanakan akan
dibangun di Asia Tenggara dan kawasan Asia Timur masih belum banyak
diteliti," kata Shannon Koplitz, peneliti utama dalam proyek dari
Harvard University melalui keterangan tertulisnya yang diterima Beritalingkungan.com (14/01/2017).
"Ketergantungan pada batu bara di
negara-negara berkembang seperti Asia Tenggara akan memiliki dampak yang
cukup besar dan tahan lama terhadap kualitas udara dan kesehatan
masyarakat. Kami memperkirakan bahwa puluhan ribu kematian dini dapat
dihindari melalui pilihan energi yang lebih bersih. Biaya kesehatan
manusia ini harus dipertimbangkan secara serius ketika membuat pilihan
tentang masa depan energi di Asia Tenggara ".
Penulis dari kelompok pemodelan Sains
Atmosfer Universitas Harvard , Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Harvard dan Greenpeace memetakan emisi saat ini dari semua PLTU batu
bara di wilayah tersebut, dan menggunakan model atmosfer canggih untuk
menilai seberapa banyak tingkat polusi udara saat ini karena emisi
batubara di lokasi yang berbeda di seluruh Asia.
Laporan ini merupakan bagian dari
serangkaian penelitian Universitas Harvard untuk melihat tingkat
morbiditas dan mortalitas yang terkait dengan PLTU batu bara di Asia.
Laporan ini merupakan lanjutan dari laporan studi sebelumnya oleh
Universitas Harvard dan Greenpeace Asia Tenggara yang berjudul "Kita,
Batubara, dan Polusi Udara", yang memperkirakan 28.300 kematian dini
setiap tahunnya dan menekankan perlunya peralihan segera menuju energi
terbarukan di Indonesia. Sebuah laporan serupa menunjukkan bahwa PLTU
batubara di Vietnam menyebabkan sekitar 4.300 kematian dini per tahun
sedangkan penelitian yang difokuskan di Thailand menunjukkan PLTU
batubara menyebabkan sekitar 1.550 kematian dini per tahun.
Jika proyek PLTU batu bara yang diusulkan
tetap berlanjut, maka emisi dari batubara di Asia Tenggara, Korea
Selatan dan Jepang akan meningkat tiga kali lipat pada tahun 2030 dan
bisa melebihi emisi batubara total di AS dan Eropa, dengan konsentrasi
peningkatan terbesar di Indonesia dan Vietnam. PLTU batu bara bisa
bertanggung jawab untuk 70.000 kematian dini di wilayah ini setiap
tahun, menyaingi 100.000 kematian dini akibat kabut asap di Indonesia
pada tahun 2015. Indonesia akan menderita jumlah tertinggi kematian
dini, diikuti oleh Vietnam, disusul Myanmar yang akan mengalami kematian
dini tertinggi keempat di tahun 2030.
"Ekspansi batubara yang direncanakan di
Asia Tenggara memerlukan perhatian khusus karena standar emisi yang
sangat lemah di negara-negara ini 'untuk pembangkit listrik. Semua
negara di wilayah ini memungkinkan polusi berkali-kali lipat dari PLTU
batubara baru di Cina dan India, "kata Arif Fiyanto, Koordinator
Kampanye Iklim dan Energi, Greenpeace Asia Tenggara.
"Negara-negara di Asia Tenggara memiliki
kesempatan sekarang untuk meninggalkan teknologi usang seperti batubara
dan pindah ke energi terbarukan. Vietnam sudah mengambil langkah pertama
dengan membatalkan 17 PLTU batu bara yang besar, mengurangi dampak
kesehatan hingga lebih dari seperempat dari dampak semula akibat rencana
ekspansi batubara negara tersebut. Pemerintah di setiap negara memiliki
kesempatan untuk segera menggeser kebijakan energi mereka dan
menyelamatkan puluhan ribu nyawa warga mereka. "
Asia Tenggara merupakan salah satu daerah
yang paling cepat berkembang di dunia; kebutuhan listrik di 2035
diproyeksikan meningkat 83% dari tahun 2011, lebih dari dua kali
rata-rata global. Banyak negara di wilayah ini masih mengejar PLTU batu
bara baru, sehingga tertinggal dari Cina dan India yang justru
meningkatkan energi terbarukan.
Di antara negara-negara maju, hanya Jepang
dan Korea Selatan yang terus menonjol sebagai satu-satunya negara
untuk mengejar pembangunan PLTU batu bara baru, yang sangat bertolak
belakang dengan komitmen iklim dan kekhawatiran mereka tentang kesehatan
masyarakat.
Cina, emitor karbon terbesar di dunia,
terlihat melakukan penurunan secara keseluruhan konsumsi batubara dan
emisi polutan sejak 2013 dan tren ini akan terus berlanjut, meskipun
terjadi lonjakan tingkat polusi udara yang terjadi baru-baru ini.
Sumber :
No comments:
Post a Comment